Beranda | Artikel
Segera Bersihkan Hatimu dengan Tauhid dan Keikhlasan (Bag. 1)
4 hari lalu

Pentingnya membersihkan dan mengobati hati

Seorang ulama tabi’in bernama Hasan al-Bashri rahimahullah berpesan,

داو قلبك فإنَّ حاجة الله عز وجل إلى العباد صلاح قلوبهم

“Obatilah hatimu, karena sesungguhnya ‘kebutuhan’ Allah ‘Azza wa Jalla terhadap para hamba adalah baiknya hati-hati mereka.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abid Dunya dalam at-Tawadhu’ wal Khumul)

Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahullah menerangkan,

يعني أن مراده منهم ومطلوبه صلاحُ قلوبهم، فلا صلاح للقلوب حتى يستقر فيها معرفة الله وعظمته ومحبته وخشيته ومهابته ورجاؤه والتوكل عليه ويمتلئ من ذلك،

“Maksudnya adalah yang dikehendaki oleh Allah dari mereka dan tuntutan dari-Nya adalah baiknya hati-hati mereka. Maka, kebaikan hati tidak akan terwujud sampai bersemayam di dalamnya ma’rifatullah, pengagungan kepada-Nya, kecintaan, rasa takut, segan, berharap dan tawakal kepada-Nya; dan hatinya pun penuh dengan perasaan (keyakinan) itu…”

وهذا هو حقيقة التوحيد، وهو معنى قول لا إله إلا الله، فلا صلاح للقلوب حتى يكون إلهها الذي تألهه وتعرفه وتحبه وتخشاه هو إله واحد لا شريك له

“Inilah hakikat tauhid dan inilah makna dari ucapan laa ilaha illallah. Maka tidak ada kebaikan bagi hati hingga ilah (sesembahan) dan tempat bergantungnya, yang paling dikenali olehnya dan dicintainya, yang paling ditakutinya hanya satu, yaitu Allah; ilah (sesembahan) yang esa, yang tiada sekutu bagi-Nya…” (Lihat dalam kitab beliau, Jami’ul ‘Ulul wal Hikam)

Allah Ta’ala berfirman,

قُلْ إِن تُخْفُواْ مَا فِي صُدُورِكُمْ أَوْ تُبْدُوهُ يَعْلَمْهُ اللّهُ

“Katakanlah; Jika kalian menyembunyikan apa-apa yang ada di dalam dada kalian atau menampakkannya, niscaya Allah mengetahuinya.” (QS. Ali ‘Imran: 29)

Di dalam ayat ini terkandung bimbingan untuk membersihkan hati dan menghadirkan di dalam hati tentang pengetahuan Allah terhadap dirinya di sepanjang waktu. Oleh sebab itu, seorang hamba akan merasa malu apabila Allah melihat hatinya penuh dengan pikiran kotor sehingga dia akan berusaha menyibukkan hatinya dalam hal-hal yang mendekatkan diri kepada Allah, baik dengan cara merenungkan ayat, memahami hadis, dan sebagainya. (Lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 128)

Hadis tentang ikhlas

Dari Umar bin Khaththab radhiyallahu’anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُولِهِ، فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُولِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيبُهَا أَوِ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا، فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ

“Sesungguhnya setiap amal dinilai dengan niatnya. Dan setiap orang akan dibalas sesuai dengan apa yang dia niatkan. Barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah dan rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan rasul-Nya. Dan barangsiapa yang hijrahnya kepada dunia yang ingin dia peroleh atau perempuan yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya kepada apa yang dia niatkan itu.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Syekh Muhammad Hayat as-Sindi rahimahullah (wafat 1163 H) berkata, “Hadis ini merupakan pokok yang agung di antara pokok-pokok agama. Semestinya setiap hamba menghendaki wajah Allah Ta’ala dalam amal-amalnya serta menjauhi pujaan (sesembahan) selain-Nya. Karena orang yang ikhlas itulah yang beruntung; sedangkan orang yang riya’, dia pasti merugi. Dan ikhlas itu tidak bisa dicapai kecuali oleh orang yang mengetahui (meyakini) keagungan Allah Ta’ala dan pengawasan-Nya terhadap segenap makhluk-Nya…” (Lihat Tuhfatul Muhibbin bi Syarhil Arba’in, hal. 39)

Hadis ini mengandung pelajaran bahwasanya barangsiapa melakukan amal karena riya’ atau ingin dipuji, maka dia berdosa. Barangsiapa berjihad dengan niat semata-mata untuk meninggikan kalimat Allah, maka sempurna balasan untuknya. Barangsiapa berjihad karena Allah dan juga karena ingin mendapat ghanimah (harta rampasan perang), maka pahalanya berkurang. Oleh sebab itu, niat yang ikhlas merupakan syarat diterimanya seluruh amal. (Lihat keterangan Syekh Abdullah alu Bassam rahimahullah dalam Taisir al-‘Allam, hal. 16)

Hadis ini adalah hadis pertama yang dibawakan oleh Imam Bukhari rahimahullah di dalam kitabnya, Shahih Bukhari. Hadis ini termasuk kelompok hadis yang disebut oleh para ulama sebagai hadis-hadis yang menjadi poros ajaran agama. Imam Ahmad, Imam Syafi’i, dan yang lainnya menganggap hadis ini sebagai salah satu hadis pokok agama Islam. (Lihat keterangan Syekh Ibrahim bin Amir ar-Ruhaili hafizhahullah dalam transkrip Syarh al-Arba’in, 1: 5-6)

Imam Ibnu Baththal menjelaskan mengapa Imam Bukhari meletakkan hadis niat ini di dalam Kitab al-Iman; yaitu disebabkan Bukhari ingin memberikan bantahan kepada Murji’ah yang menganggap bahwa iman itu cukup dengan ucapan lisan tanpa dilandasi oleh keyakinan hati. (Lihat Lubb al-Lubab fi at-Tarajim wal Abwab, 1: 123; karya al-’Allamah Abdul Haq al-Hasyimi)

Hadis ini menunjukkan bahwa niat adalah syarat diterimanya amalan. Apabila suatu amalan tidak disertai dengan niat, maka ia tidak akan diterima. Hadis ini juga menjadi dalil bahwa ikhlas adalah syarat diterimanya seluruh amalan. Niat dalam artian ikhlas inilah yang dibahas di dalam kitab-kitab akidah. Adapun niat yang dibahas dalam kitab-kitab fikih adalah niat yang berfungsi untuk membedakan ibadah yang satu dengan ibadah yang lain atau untuk membedakan antara ibadah dan bukan ibadah (kebiasaan). (Lihat transkrip Syarh al-Arba’in, 1: 6-8; oleh Syekh Ibrahim ar-Ruhaili)

Hadis ini juga memberikan pelajaran bahwa setiap perbuatan yang dilakukan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah harus disertai niat untuk mencari pahala di akhirat. Apabila misalnya ada orang yang melakukan salat tanpa menyimpan niat mencari pahala di akhirat, maka orang itu tidak akan mendapatkan pahala di akhirat atas perbuatannya itu. (Lihat keterangan Syekh Sa’ad asy-Syatsri hafizhahullah dalam Syarh Umdatul Ahkam, 1: 14)

Hadis ini merupakan pondasi agama. Ia mengandung perealisasian syahadat laa ilaha illallah. Yaitu wajibnya memurnikan amal ibadah untuk Allah. Hadis ini berisi setengah dalil agama, sedangkan setengahnya lagi ada di dalam hadis,

مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa yang mengada-adakan di dalam urusan kami ini sesuatu yang tidak termasuk ajarannya maka ia tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Di dalam hadis ini terkandung makna syahadat “Muhammad rasulullah”. Oleh sebab itu, amal yang diterima adalah yang ikhlas dan mengikuti tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Lihat keterangan Syekh Abdul Aziz ar-Rajihi hafizhahullah dalam Minhatul Malik, 1: 26)

Syekh Shalih al-Fauzan hafizhahullah menjelaskan bahwasanya ibadah dan segala bentuk amalan tidaklah menjadi benar kecuali dengan dua syarat; ikhlas kepada Allah ‘Azza wa Jalla, dan harus sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Demikian sebagaimana beliau terangkan dalam I’anatul Mustafid (1: 60-61).

Syekh as-Si’di rahimahullah menerangkan, “Barangsiapa mengikhlaskan amal-amalnya untuk Allah serta dalam beramal itu dia mengikuti tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka inilah orang yang amalnya diterima. Barangsiapa yang kehilangan dua perkara ini -ikhlas dan mengikuti tuntunan- atau salah satunya, maka amalnya tertolak. Sehingga ia termasuk dalam cakupan hukum firman Allah Ta’ala,

وَقَدِمْنَا إِلَى مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاء مَّنثُوراً

‘Dan Kami hadapi segala amal yang telah mereka perbuat, kemudian Kami jadikan ia bagaikan debu-debu yang beterbangan.’ (QS. al-Furqan: 23).” (Lihat Bahjah al-Qulub al-Abrar, hal. 14; cet. Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah)

Hadis ini juga menunjukkan bahwa amalan yang dilakukan orang musyrik itu tidak diterima oleh Allah disebabkan mereka mempersekutukan Allah dalam hal ibadah. Allah Ta’ala berfirman,

لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ

“Sungguh jika kamu berbuat syirik, niscaya akan lenyap seluruh amalmu.” (QS. az-Zumar: 65)

Allah Ta’ala juga berfirman,

وَلَوْ أَشْرَكُواْ لَحَبِطَ عَنْهُم مَّا كَانُواْ يَعْمَلُونَ

“Seandainya mereka berbuat syirik, pastilah akan terhapus semua amal yang dahulu mereka kerjakan.” (QS. al-An’aam: 88)

Demikian pula orang yang murtad, maka semua amalnya akan terhapus. (Lihat at-Taudhih wal Bayan li Syajaratil Iman, hal. 73-74)

Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Ikhlas adalah hakikat agama Islam. Karena Islam itu adalah kepasrahan kepada Allah, bukan kepada selain-Nya. Maka barangsiapa yang tidak pasrah kepada Allah, sesungguhnya dia telah bersikap sombong. Dan barangsiapa yang pasrah kepada Allah dan kepada selain-Nya, maka dia telah berbuat syirik. Dan kedua-duanya, yaitu sombong dan syirik, bertentangan dengan Islam.

Oleh sebab itulah, pokok ajaran Islam adalah syahadat laa ilaha illallah; dan ia mengandung ibadah kepada Allah semata dan meninggalkan ibadah kepada selain-Nya. Itulah keislaman yang bersifat umum yang tidaklah menerima dari kaum yang pertama maupun kaum yang terakhir suatu agama selain agama itu. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

وَمَن يَبْتَغِ غَيْرَ الإِسْلاَمِ دِيناً فَلَن يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ

“Barangsiapa yang mencari selain Islam sebagai agama, maka tidak akan diterima darinya, dan di akhirat dia pasti akan termasuk golongan orang-orang yang merugi.” (QS. Ali ‘Imran: 85)

Ini semua menegaskan kepada kita bahwasanya yang menjadi pokok agama sebenarnya adalah perkara-perkara batin yang berupa ilmu dan amalan hati, dan bahwasanya amal-amal lahiriyah tidak akan bermanfaat tanpanya.” (Lihat Mawa’izh Syekhul Islam Ibnu Taimiyah, hal. 30)

Baca juga: Tepatkah Ucapan, “Iman Itu Letaknya di Hati”?

Bahaya penyakit hati

Allah Ta’ala berfirman tentang kaum munafik,

وَمِنَ النَّاسِ مَن يَقُولُ آمَنَّا بِاللّهِ وَبِالْيَوْمِ الآخِرِ وَمَا هُم بِمُؤْمِنِينَ يُخَادِعُونَ اللّهَ وَالَّذِينَ آمَنُوا وَمَا يَخْدَعُونَ إِلاَّ أَنفُسَهُم وَمَا يَشْعُرُونَ فِي قُلُوبِهِم مَّرَضٌ فَزَادَهُمُ اللّهُ مَرَضاً وَلَهُم عَذَابٌ أَلِيمٌ بِمَا كَانُوا يَكْذِبُونَ

“Dan sebagian orang ada yang mengatakan, ‘Kami beriman kepada Allah dan hari akhir’; padahal mereka bukanlah kaum beriman. Mereka berusaha mengelabui Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka tidaklah mengelabui kecuali dirinya sendiri, sedangkan mereka tidak menyadari. Dalam hati mereka terdapat penyakit, maka Allah pun tambahkan padanya penyakit yang lain…” (QS. al-Baqarah: 8-10)

Kerusakan yang menimpa hati kaum munafik inilah yang meruntuhkan segala amal kebaikan yang mereka tampakkan. Syekh as-Sa’di rahimahullah menjelaskan bahwa yang dimaksud “penyakit” dalam ayat itu adalah keragu-raguan, syubhat, dan kemunafikan. (Lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 42)

Allah Ta’ala mengisahkan,

أَفَمَنْ أَسَّسَ بُنْيَانَهُ عَلَى تَقْوَى مِنَ اللّهِ وَرِضْوَانٍ خَيْرٌ أَم مَّنْ أَسَّسَ بُنْيَانَهُ عَلَىَ شَفَا جُرُفٍ هَارٍ فَانْهَارَ بِهِ فِي نَارِ جَهَنَّمَ

“Apakah orang yang membangun pondasi bangunannya di atas takwa kepada Allah dan mencari keridaan-Nya itukah yang lebih baik ataukah orang yang membangun pondasi bangunannya di tepi jurang yang miring lalu runtuh bersamanya ke dalam neraka Jahanam?” (QS. at-Taubah: 109)

Syekh Abdul Malik Ramadhani menjelaskan, bahwa ayat ini berbicara tentang orang-orang munafik yang membangun masjid untuk salat di dalamnya. Akan tetapi, disebabkan amal yang agung ini mereka lakukan tanpa disertai dengan keikhlasan, maka amalan itu tidak bermanfaat untuk mereka sedikit pun, bahkan ia justru menyeret dan menjerumuskan mereka ke dalam neraka Jahanam. (Lihat Sittu Duror min Ushuli Ahlil Atsar, hal. 13)

Akibat penyakit yang menjangkiti hati inilah, orang kemudian menolak kebenaran dan menerima kebatilan, dan demikian itulah karakter yang melekat pada diri orang-orang munafik. Sementara baik buruknya hati menentukan baik buruknya amalan. Oleh sebab itu, sudah semestinya seorang insan memperhatikan keadaan hatinya; apakah hatinya sehat atau sakit. Apabila hatinya sedang sakit, hendaklah dia bersemangat untuk segera mencari obatnya. Apabila hatinya sehat, hendaklah dia memuji Allah atas nikmat itu dan memohon kepada-Nya agar tetap tegar di atasnya. Banyak orang berusaha keras untuk mencari obat bagi penyakit fisik sehingga berupaya mencari pengobatan kepada semua dokter yang bisa ditemui. Akan tetapi anehnya, banyak orang tidak perhatian terhadap penyakit hati yang bersarang di dalam dirinya. Padahal penyakit hati lebih berat bahayanya dan lebih mematikan daripada penyakit badan. (Lihat Ahkam minal Qur’an, 1: 86-87)

Kebanyakan orang beranggapan bahwa musibah yang menyakitkan itu adalah yang berkenaan dengan hal-hal yang bersifat lahiriah (materi) atau keduniaan saja. Padahal sesungguhnya musibah akibat penyakit hati dan rusaknya nurani lebih dahsyat dan lebih mengerikan daripada musibah akibat perkara-perkara dunia. Bahkan tidak sedikit manusia yang berada dalam keadaan hatinya telah mati sampai-sampai tidak bisa lagi merasakan musibah yang menimpa dirinya berupa kefasikan dan kemaksiatan. (Lihat Ahkam minal Qur’an, 1: 87)

Sebagian orang yang arif mengatakan, “Bukankah orang yang sakit apabila terhalang dari makanan dan minuman serta obat-obatan lambat laun akan menjadi mati?” Mereka menjawab, “Benar.” Kemudian dia berkata, “Demikian pula hati; apabila ia terhalang dari ilmu dan hikmah selama tiga hari saja, niscaya dia akan mati.”

Sungguh benar kalimat ini. Sesungguhnya ilmu merupakan makanan, minuman, sekaligus obat bagi hati. Kehidupan hati sangat bergantung padanya. Apabila hati kehilangan ilmu, ia pun menjadi mati. Akan tetapi seringkali pemiliknya tidak menyadari akan kematian hati, Allahul musta’aan. (Lihat al-’Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu, hal. 144-145)

Ikhlas dalam menimba ilmu

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ طَلَبَ الْعِلْمَ لِيُمَارِيَ بِهِ السُّفَهَاءَ، أَوْ لِيُبَاهِيَ بِهِ الْعُلَمَاءَ، أَوْ لِيَصْرِفَ وُجُوهَ النَّاسِ إِلَيْهِ، فَهُوَ فِي النَّارِ

“Barangsiapa menimba ilmu (agama) untuk bersikap lancang (membanggakan) diri kepada para ulama, atau untuk mendebat (melecehkan) orang-orang dungu, atau demi memalingkan wajah-wajah manusia kepada dirinya (mencari ketenaran), maka Allah akan masukkan dia ke dalam neraka.” (HR. Tirmidzi, al-Albani mengatakan hadis ini shahih lighairihi) (Lihat al-’Ilmu, Wasa-iluhu wa Tsimaruhu, hal. 18; oleh Syekh Sulaiman ar-Ruhaili)

Hal ini mengisyaratkan bahwa penimba ilmu harus membersihkan hatinya dari segala hal yang merusak berupa tipu daya (sifat curang), kotoran dosa, iri dan dengki, ataupun keburukan akidah dan kejelekan akhlak. Ilmu adalah ibadah hati, dan tidak mungkin ilmu bisa diserap dengan baik kecuali apabila hati itu bersih dari segala hal yang mengotorinya. Sahl rahimahullah berkata, “Haram bagi hati yang memendam sesuatu yang dibenci oleh Allah ‘Azza wa Jalla untuk dimasuki cahaya (ilmu).” (Lihat Tadzkiratus Sami’ wal Mutakallim karya Ibnu Jama’ah, hal. 86)

Salah satu fenomena yang menunjukkan kerusakan niat adalah ketika sebagian orang membahas suatu perkara yang rumit dan pelik, lalu dia bersemangat menelaah hal itu dengan sebaik-baiknya, kemudian dia sebarkan hasilnya di sebagian majelis, sementara tidak ada niat (motivasi) di dalam hatinya ketika membahas masalah itu secara detail selain demi menampakkan kehebatan (berbangga diri) di hadapan para ulama. Selain itu, ada pula sebagian orang yang membahas beberapa perkara ilmu hanya untuk tujuan mendebat (melecehkan) orang-orang dungu (bodoh) atau menyulut pertengkaran dan perdebatan yang tidak bijaksana. (Lihat keterangan Syekh Abdurrazzaq al-Badr hafizhahullah dalam Syarh Manzhumah Mimiyah, hal. 94)

Karena itulah seorang penimba ilmu hendaknya menghadirkan perasaan selalu diawasi Allah, yang ilmu-Nya meliputi segala sesuatu. Sebagaimana telah diajarkan oleh Allah Ta’ala dalam firman-Nya,

قُلْ إِن تُخْفُواْ مَا فِي صُدُورِكُمْ أَوْ تُبْدُوهُ يَعْلَمْهُ اللّهُ

“Katakanlah; Jika kalian menyembunyikan apa-apa yang ada di dalam dada (hati) kalian atau kalian tampakkan, maka Allah Maha mengetahuinya.” (QS. Ali ‘Imran: 29)

Setiap amalan dinilai dengan niatnya dan setiap orang akan diberi balasan selaras dengan niat yang tertanam di dalam hatinya, sebagaimana disabdakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Silahkan baca nasihat Syekh Husain al-’Awaisyah hafizhahullah dalam Fiqh Da’wah wa Tazkiyatun Nafs, hal. 10)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا مِمَّا يُبْتَغَى بِهِ وَجْهُ اللَّهِ، لَا يَتَعَلَّمُهُ إِلَّا لِيُصِيبَ بِهِ عَرَضًا مِنَ الدُّنْيَا، لَمْ يَجِدْ عَرْفَ الْجَنَّةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Barangsiapa yang mencari ilmu (agama) yang seharusnya dia pelajari demi mengharap wajah Allah ‘Azza wa Jalla, sedangkan ternyata dia justru mempelajarinya untuk mencari suatu bentuk kesenangan (perhiasan dunia), maka dia tidak akan mendapatkan bau harum surga pada hari kiamat.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan lain-lain; dan dinyatakan shahih lighairihi oleh al-Albani) (Lihat Fiqh Da’wah wa Tazkiyatun Nafs, hal. 11)

Ma’khul berkata, “Barangsiapa menimba ilmu hadis demi mendebat orang-orang bodoh atau berbangga-bangga di hadapan para ulama, atau demi memalingkan wajah-wajah manusia kepadanya, maka dia di neraka.” (Lihat Shahih Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, hal. 227)

Syekh Shalih al-Fauzan berkata, “Ikhlas itu adalah seorang insan berniat dengan amalnya untuk mencari wajah Allah. Dan dia tidak bermaksud untuk mencari kepentingan dunia apapun atau mencari pujian dan sanjungan dari manusia. Dia tidak mendengarkan celaan mereka ketika mencelanya. Seperti perkataan mereka, ‘Si fulan mutasyaddid (keras)’ atau ‘Si fulan itu begini dan begitu’. Selama dia berada di atas jalan yang benar dan di atas Sunnah, maka tidak membahayakan dirinya apa yang diucapkan oleh orang-orang. Dan tidak menggoyahkannya dari jalan Allah celaan dari siapa pun juga.” (Lihat I’anatul Mustafid, 1: 104)

Baca juga: Apakah Setiap Penyakit (Kerasnya) Hati Menunjukkan Tanda Kemunafikan?

[Bersambung]

***

Penulis: Ari Wahyudi

Artikel Muslim.or.id


Artikel asli: https://muslim.or.id/108032-segera-bersihkan-hatimu-dengan-tauhid-dan-keikhlasan-bag-1.html